Mengembangkan Keaksaraan yang Sesuai dengan RITME Anak
Tuesday, 28 October 2014
Add Comment
Dunia anak
adalah dunia bermain. Anak yang berlajar sambil bermain dengan bimbingan orang
tua atau orang dewasa yang dikenalkannya akan menunjukan antusiasme belajar.
Sebaliknya, anak yang memperoleh pembelajaran keaksaraan yang melebihi
kapasitasnya akan mengalami ketegangan penurunan semangat belajar.
Inilah sebuah kenyataan tentang belajar keaksaraan pada anak usia dini. Di satu sisi, secara teoritis, anak tidak boleh dipaksakan untuk belajar keaksaraan. Sementara di sisi lain, balajar keaksaraan identik dengan memenuhi harapan orang tua untuk memberikan paspor bagi anak sebelum memasuki tahun-tahun pertama pengalaman belajarnya pada lingkup pendidikan dasar.
Pandangan tentang tidak boleh memaksakan anak usia dini belajar keaksaraan seperti layaknya anak yang lebih tua usianya dapat dilihat pada dokumen Pusat Kurikulum Balitbang (2007). Dokumen ini mengungkapkan bahwa wacana yang dipergunakan untuk keaksaraan bagi anak usia dini satu bukan membaca dan menulis, akan tetapi pra-membaca, contohnya mulai menunjukan ketertarikan dengan buku/media cetak lainnya (pra-membaca). Hal ini ditandai dengan mengeksplorasi buku atau media cetak lainnya yang memiliki gambar dan warna yang menarik. Meskipun demikian, masih harus didiskusikan apakah tindakan anak usia dini memasukan buku ke dalam mulut atau memukul-mukul merupakan indikator pra-membaca atau semata-mata naluri anak tersebut. Pada usia 1-2 diperoleh gambaran sebagai berikut:
Untuk anak usia 1-2 tahun jauh lebih dapat dipahami, seperti mulai tertarik isi buku dan media cetak lainnya dengan cara menanyakan atau pura-pura menulis. Selanjutnya dapat dilihat pula standar untuk usia 2-3 tahun:
Seperti halnya membaca untuk anak usia 1-2 tahun diwacanakan pra-membaca, Demikian pula menulis dikenal dengan pramenulis dan indikator keduanya antara lain meminta tolong kepada orang dewasa untuk menuliskan cerita gambar yang dibuatnya serta menghasilkan garis-garis dengan alat tulis. Masalah, asumsi permikiran tersebut ditujukan pada masyarakat yang melek baca tulis namun belum mempertimbangkan latar belakang komunitas yang sama sekali orang tua dan belum bisa membaca dan menulis.
Berikut standar untuk anak usai 3-4 tahun diperoleh gambaran sebagai berikut :
Dari semua tahapan yang ditetapkan, kosa kata yang dipergunakan sekali lagu bukan membaca dan menulis, akan tetapi pramembaca dan pramenulis; walaupun terdapat perbedaan yang mendasar antar konsep keaksaraan seperti yang ditetapkan oleh Pusat Kurikulum dengan pengamatan ahli bahasa di negara yang sudah maju.
Pada umumnya masyarakat awam menganggap cukup bila anak diberikan pengetahuan yang berhubungan dengan baca tulis hitung pada awal perkembangan kehidupannya. Anggapan seperti ini membuat anak tidak memiliki perkembangan diri yang seimbang, atau secara teoris diberikan beban yang berlebih pada otak kiri dan tidak lagi diberikan perhatian pad otak kanannnya, bahkan keduanya tidak berjalan secara seimbang. Sehubungan dengan itu Gardener menganggap keseimbangan itu dalam satu kesatuan utuh, berimbang dan proporsional sesuai kecakapan intelektual.
Kenyataannya pada anak jika pembelajaran lebih banyak mengikuti ambisi orang tua dari pada memasuki dunia anak dan ritme yang ada pada anak sendiri akan merupakan hambatan tersendiri dalam pengembangan kemampuan seseorang. Resiko yang sama juga terjadi bila kebiasaan dipaksakan untuk mengikuti bahasa tutur dan mengabaikan kemampuan untuk membaca bahasa tulisan.
Menurut teorinya, pengetahuan dan kecakapan kebahasaan merupakan bagian utama dalam kecakapan intelektual karena fungsi yang strategis dalam komunikasi. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan sistemik antara kemampuan berbahasa dengan kemampuan berkompetisi dari anak tersebut (Natioan Research Council, 1998). Hampir semua permasalahan dalam kehidupan membutuhkan kemampuan komunikasi dan menjadi persyaratan utama dalam kehidupan modern untuk berekspresi dan bahkan survive dalam kehidupan.
Shonkoff (2000) menekankan kembali bahwa anak dilahirkan ke dunia dibekali dengan kemampuan untuk belajar. Pada lima tahun pertama, pertumbuhan mereka luar biasa terutama dalam kemampuan linguistik, konseptual, sosial, emosional, dan kompetensi motoriknya. Sejaka masa kelahiran seorang anak yang sehat tumbuh menjadi seorang partisipant yang aktif, dibekali dengan kemampuan jelajah lingkungan, belajar untuk berkomunikasi dan setelah sedikit mengikuti pertumbuhannya berkembang dengan kemampuan mengkonstruk ide dan teori tentang benda dan lingkungan sekitarnya.
Oleh Karena itu perlu kiranya dilakukan stimulus yang responsif terhadap perkembangan keaksaraan anak, untuk mengembangkan kemampuan keaksaraan anak sesuai dengan tahapan dan tumbuh kembangnya. Mengembangkan keaksaraan seharusnya dilakukan dengan memperhatikan faktor kemampuan bawaan anak sejak lahir, agar pertumbuhan anak semakin luar biasa, terutama pada lima tahun pertama. mENGE
Inilah sebuah kenyataan tentang belajar keaksaraan pada anak usia dini. Di satu sisi, secara teoritis, anak tidak boleh dipaksakan untuk belajar keaksaraan. Sementara di sisi lain, balajar keaksaraan identik dengan memenuhi harapan orang tua untuk memberikan paspor bagi anak sebelum memasuki tahun-tahun pertama pengalaman belajarnya pada lingkup pendidikan dasar.
Pandangan tentang tidak boleh memaksakan anak usia dini belajar keaksaraan seperti layaknya anak yang lebih tua usianya dapat dilihat pada dokumen Pusat Kurikulum Balitbang (2007). Dokumen ini mengungkapkan bahwa wacana yang dipergunakan untuk keaksaraan bagi anak usia dini satu bukan membaca dan menulis, akan tetapi pra-membaca, contohnya mulai menunjukan ketertarikan dengan buku/media cetak lainnya (pra-membaca). Hal ini ditandai dengan mengeksplorasi buku atau media cetak lainnya yang memiliki gambar dan warna yang menarik. Meskipun demikian, masih harus didiskusikan apakah tindakan anak usia dini memasukan buku ke dalam mulut atau memukul-mukul merupakan indikator pra-membaca atau semata-mata naluri anak tersebut. Pada usia 1-2 diperoleh gambaran sebagai berikut:
Untuk anak usia 1-2 tahun jauh lebih dapat dipahami, seperti mulai tertarik isi buku dan media cetak lainnya dengan cara menanyakan atau pura-pura menulis. Selanjutnya dapat dilihat pula standar untuk usia 2-3 tahun:
Seperti halnya membaca untuk anak usia 1-2 tahun diwacanakan pra-membaca, Demikian pula menulis dikenal dengan pramenulis dan indikator keduanya antara lain meminta tolong kepada orang dewasa untuk menuliskan cerita gambar yang dibuatnya serta menghasilkan garis-garis dengan alat tulis. Masalah, asumsi permikiran tersebut ditujukan pada masyarakat yang melek baca tulis namun belum mempertimbangkan latar belakang komunitas yang sama sekali orang tua dan belum bisa membaca dan menulis.
Berikut standar untuk anak usai 3-4 tahun diperoleh gambaran sebagai berikut :
Dari semua tahapan yang ditetapkan, kosa kata yang dipergunakan sekali lagu bukan membaca dan menulis, akan tetapi pramembaca dan pramenulis; walaupun terdapat perbedaan yang mendasar antar konsep keaksaraan seperti yang ditetapkan oleh Pusat Kurikulum dengan pengamatan ahli bahasa di negara yang sudah maju.
Pada umumnya masyarakat awam menganggap cukup bila anak diberikan pengetahuan yang berhubungan dengan baca tulis hitung pada awal perkembangan kehidupannya. Anggapan seperti ini membuat anak tidak memiliki perkembangan diri yang seimbang, atau secara teoris diberikan beban yang berlebih pada otak kiri dan tidak lagi diberikan perhatian pad otak kanannnya, bahkan keduanya tidak berjalan secara seimbang. Sehubungan dengan itu Gardener menganggap keseimbangan itu dalam satu kesatuan utuh, berimbang dan proporsional sesuai kecakapan intelektual.
Kenyataannya pada anak jika pembelajaran lebih banyak mengikuti ambisi orang tua dari pada memasuki dunia anak dan ritme yang ada pada anak sendiri akan merupakan hambatan tersendiri dalam pengembangan kemampuan seseorang. Resiko yang sama juga terjadi bila kebiasaan dipaksakan untuk mengikuti bahasa tutur dan mengabaikan kemampuan untuk membaca bahasa tulisan.
Menurut teorinya, pengetahuan dan kecakapan kebahasaan merupakan bagian utama dalam kecakapan intelektual karena fungsi yang strategis dalam komunikasi. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan sistemik antara kemampuan berbahasa dengan kemampuan berkompetisi dari anak tersebut (Natioan Research Council, 1998). Hampir semua permasalahan dalam kehidupan membutuhkan kemampuan komunikasi dan menjadi persyaratan utama dalam kehidupan modern untuk berekspresi dan bahkan survive dalam kehidupan.
Shonkoff (2000) menekankan kembali bahwa anak dilahirkan ke dunia dibekali dengan kemampuan untuk belajar. Pada lima tahun pertama, pertumbuhan mereka luar biasa terutama dalam kemampuan linguistik, konseptual, sosial, emosional, dan kompetensi motoriknya. Sejaka masa kelahiran seorang anak yang sehat tumbuh menjadi seorang partisipant yang aktif, dibekali dengan kemampuan jelajah lingkungan, belajar untuk berkomunikasi dan setelah sedikit mengikuti pertumbuhannya berkembang dengan kemampuan mengkonstruk ide dan teori tentang benda dan lingkungan sekitarnya.
Oleh Karena itu perlu kiranya dilakukan stimulus yang responsif terhadap perkembangan keaksaraan anak, untuk mengembangkan kemampuan keaksaraan anak sesuai dengan tahapan dan tumbuh kembangnya. Mengembangkan keaksaraan seharusnya dilakukan dengan memperhatikan faktor kemampuan bawaan anak sejak lahir, agar pertumbuhan anak semakin luar biasa, terutama pada lima tahun pertama. mENGE
0 Response to "Mengembangkan Keaksaraan yang Sesuai dengan RITME Anak"
Post a Comment